Waktu menunjukkan pukul 17.00, namun hujan tak juga reda. Langit
akhir-akhir ini tak bersahabat. Kali ini rinai hujan mengiringi kepulangan
Fidha dari kampus. Hatinya dongkol karena kali ini dia pulang telat dan tidak
bisa mengikuti aktivitas ngaji di Ma’hadnya. Hari ini Fidha meninggalkan
rutinitas di Ma’hadnya karena harus ngelembur editing majalah yang sudah
melebihi deadline yang di tentukan. Semua ini karna kurang koordinasi dan miss
komunikasi dari anggota Ekspresi yang
sedang sibuk dengan agenda kuliah masing-masing. Musim ujian hampir tiba, jadi
mereka sibuk dengan tugas yang menumpuk.
Hujan nampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda.
Fidha akhirnya memutuskan untuk menerjang hujan. Dari pada kemalaman pulang ke
ma’had lebih baik aku hujan-hujanan, batin Fidha. Langkah kakinya tajam sehingga
menimbulkan percikan air dari kedua sepatu kungilnya. Fidha harus berjalan
kurang lebih 300 meter untuk sampai ketempat pemberintian bus. Lumayan jauh dan
itu membuat badan Fidha basah kuyup.“Alhamdulillah, akhirnya nyampai juga”.
ujar Fidha sedikit terenggah, nafasnya belum stabil.
“Bang, RSI”
“2B mbak, kok hujan-hujanan mbak” ujar penjaga selter
lembut.
“Iya bang, orang lagi hujan” jawab Fidha sedikit ketus.
Fidha sebenarnya tahu manksut abangnya, kenapa ga pakai
payung atau nunggu hujan reda malah hujan-hujanan. Tapi dia males jelasinnya.
So, dia jawab ketus. 10 menit mengunggu akhirnya armada 2B datang juga.
“2B, silakan yang mau ke Jl. Kusumanegara, Jl. Veteran,
Gembira Loka”
Tanpa berfikir panjang aku langsung beranjak dan masuk ke
armada yang kan mengantarkanku ke Ma’had tercinta.
Armada ini begitu sepi, hanya ada lima orang penumpang.
Pendingin armada ini sedikit membuat baju Fidha kering, tapi membuat dia
menggigil. Akhirnya Fidha menggosokkan minyak kayu putih di sela-sela jemari
tangan dan kakinya untuk sekadar memberikan rasa hangat.
Fidha mengusa-usap kaca yang berembun untuk melihat keadaan
luar. Hujan masih belum reda, namun tidak selebat tadi. Siluet lampu jalan
membuat indah pertokoan di sekitar jalan. Pikiran Fidha melayang, raganya
seolah kembali ke kota tembakau tempat di mana ia di lahirkan. Tiba-tiba
kelopak mata Fidha basah, bukan karena sisa air hujan. Tapi karena butiran yang
mengalir dari kedua mata sipitnya. Kumandang azan terdengan samar-samar.
Fidhapun tersadar dari lamunanya.
Alhamdulilah sudah maghrib, gumam Fidha. Fidha pun
merogoh tasnya, mungkin dia menemukan
sesuatu yang bisa digunakan untuk buka puasa. Tapi Fidha tidak menemukan apapun
di dalam tasnya, dia baru sadar kalo persediaan permennya kemarin telah habis.
Akhirnya dia hanya bisa menelan ludah.
“Aku rindu keluargaku” ujar Fidha lirih.
“Bagi yang mau turun di jl.Veteran, RSI silakan
bersiap-siap” kata bang kondektur.
30 menit perjalanan akhirnya sampai juga Fidha di selter
yang ia tuju. Segera ia mengusap air
mata dari kedua pipinya. Beberapa sorot mata mengiringi kepergian Fidha dari tempat
duduknya. Kali ini armada yang di naiki Fidha memang sudah agak penuh, tapi ia
tidak menyadarinya.
Hujan masih belum reda. Ia pun menelurusi setiap emperan
toko di pinggir jalan, untuk menghindari hujan. Senyum terkembang dari bibir
Fidha setelah gerbang hijau Ma’hadnya terlihat di ujung gang.
“Alhamdulillah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar