Jumat, 21 Desember 2012

sepenggal kisah#01

Waktu menunjukkan pukul 17.00, namun hujan tak juga reda. Langit akhir-akhir ini tak bersahabat. Kali ini rinai hujan mengiringi kepulangan Fidha dari kampus. Hatinya dongkol karena kali ini dia pulang telat dan tidak bisa mengikuti aktivitas ngaji di Ma’hadnya. Hari ini Fidha meninggalkan rutinitas di Ma’hadnya karena harus ngelembur editing majalah yang sudah melebihi deadline yang di tentukan. Semua ini karna kurang koordinasi dan miss komunikasi  dari anggota Ekspresi yang sedang sibuk dengan agenda kuliah masing-masing. Musim ujian hampir tiba, jadi mereka sibuk dengan tugas yang menumpuk.
Hujan nampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Fidha akhirnya memutuskan untuk menerjang hujan. Dari pada kemalaman pulang ke ma’had lebih baik aku hujan-hujanan, batin Fidha. Langkah kakinya tajam sehingga menimbulkan percikan air dari kedua sepatu kungilnya. Fidha harus berjalan kurang lebih 300 meter untuk sampai ketempat pemberintian bus. Lumayan jauh dan itu membuat badan Fidha basah kuyup.“Alhamdulillah, akhirnya nyampai juga”. ujar Fidha sedikit terenggah, nafasnya belum stabil.
“Bang, RSI”
“2B mbak, kok hujan-hujanan mbak” ujar penjaga selter lembut.
“Iya bang, orang lagi hujan” jawab Fidha sedikit ketus.

Fidha sebenarnya tahu manksut abangnya, kenapa ga pakai payung atau nunggu hujan reda malah hujan-hujanan. Tapi dia males jelasinnya. So, dia jawab ketus. 10 menit mengunggu akhirnya armada 2B datang juga.
“2B, silakan yang mau ke Jl. Kusumanegara, Jl. Veteran, Gembira Loka”
Tanpa berfikir panjang aku langsung beranjak dan masuk ke armada yang kan mengantarkanku ke Ma’had tercinta.
Armada ini begitu sepi, hanya ada lima orang penumpang. Pendingin armada ini sedikit membuat baju Fidha kering, tapi membuat dia menggigil. Akhirnya Fidha menggosokkan minyak kayu putih di sela-sela jemari tangan dan kakinya untuk sekadar memberikan rasa hangat.
Fidha mengusa-usap kaca yang berembun untuk melihat keadaan luar. Hujan masih belum reda, namun tidak selebat tadi. Siluet lampu jalan membuat indah pertokoan di sekitar jalan. Pikiran Fidha melayang, raganya seolah kembali ke kota tembakau tempat di mana ia di lahirkan. Tiba-tiba kelopak mata Fidha basah, bukan karena sisa air hujan. Tapi karena butiran yang mengalir dari kedua mata sipitnya. Kumandang azan terdengan samar-samar. Fidhapun tersadar dari lamunanya. 
Alhamdulilah sudah maghrib, gumam Fidha. Fidha pun merogoh  tasnya, mungkin dia menemukan sesuatu yang bisa digunakan untuk buka puasa. Tapi Fidha tidak menemukan apapun di dalam tasnya, dia baru sadar kalo persediaan permennya kemarin telah habis. Akhirnya dia hanya bisa menelan ludah.
“Aku rindu keluargaku” ujar Fidha lirih.
“Bagi yang mau turun di jl.Veteran, RSI silakan bersiap-siap” kata bang kondektur.
30 menit perjalanan akhirnya sampai juga Fidha di selter yang ia tuju. Segera ia mengusap  air mata dari kedua pipinya. Beberapa sorot mata mengiringi kepergian Fidha dari tempat duduknya. Kali ini armada yang di naiki Fidha memang sudah agak penuh, tapi ia tidak menyadarinya.
Hujan masih belum reda. Ia pun menelurusi setiap emperan toko di pinggir jalan, untuk menghindari hujan. Senyum terkembang dari bibir Fidha setelah gerbang hijau Ma’hadnya terlihat di ujung gang.
“Alhamdulillah”









Tidak ada komentar:

Posting Komentar