Jumat, 21 Desember 2012

sepenggal kisah#01

Waktu menunjukkan pukul 17.00, namun hujan tak juga reda. Langit akhir-akhir ini tak bersahabat. Kali ini rinai hujan mengiringi kepulangan Fidha dari kampus. Hatinya dongkol karena kali ini dia pulang telat dan tidak bisa mengikuti aktivitas ngaji di Ma’hadnya. Hari ini Fidha meninggalkan rutinitas di Ma’hadnya karena harus ngelembur editing majalah yang sudah melebihi deadline yang di tentukan. Semua ini karna kurang koordinasi dan miss komunikasi  dari anggota Ekspresi yang sedang sibuk dengan agenda kuliah masing-masing. Musim ujian hampir tiba, jadi mereka sibuk dengan tugas yang menumpuk.
Hujan nampaknya tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Fidha akhirnya memutuskan untuk menerjang hujan. Dari pada kemalaman pulang ke ma’had lebih baik aku hujan-hujanan, batin Fidha. Langkah kakinya tajam sehingga menimbulkan percikan air dari kedua sepatu kungilnya. Fidha harus berjalan kurang lebih 300 meter untuk sampai ketempat pemberintian bus. Lumayan jauh dan itu membuat badan Fidha basah kuyup.“Alhamdulillah, akhirnya nyampai juga”. ujar Fidha sedikit terenggah, nafasnya belum stabil.
“Bang, RSI”
“2B mbak, kok hujan-hujanan mbak” ujar penjaga selter lembut.
“Iya bang, orang lagi hujan” jawab Fidha sedikit ketus.

Selasa, 18 Desember 2012

Hadi Mursodo: Hidup dengan Dua Roda

Hadi Mursodo, tak pernah menyangka akan nasib yang dialaminya. Laki-laki berusia 56 tahun ini menderita polio sejak dia berusia 14 bulan dan menyebabkan kedua kakinya lumpuh, hingga ia tidak mampu berjalan layaknya manusia normal. Dia harus menggunakan kursi roda sebagai alat bantu kedua kakinya. Anak ke tiga dari 12 bersaudara ini hanya mengenyam bangku sekolah hingga kelas dua SD. Setelah itu dia putus sekolah karena fisiknya yang tidak mendukung dan tidak ada yang mengantarkannya ke sekolah. Laki-laki separuh baya ini tinggal di daerah hotel Milia, Cokrodirjan Yogyakarta. Setiap hari Hadi, harus berjalan kurang lebih 10 menit dari tempat tinggalnya menuju tempat mangkalnya di pasar Bringharjo. Setiap hari Hadi berangkat dari rumah pukul 08.00 dan pulang pukul 17.00 seorang diri. Menunggu simpatisan dari orang-orang yang berlalu lalang di pasar Bringharjo itulah yang dilakukannya. Penghasilan yang ia perolah dari uluran tangan orang lain hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menghilangkan kejenuhannya ia sering melihat gambar-gambar yang ada di koran, karena ia putus sekolah menyebabkan ia tidak bisa membaca. Meski lelah, Hadi tetap mangkal di pasar Bringharjo, karena ini adalah kewajibannya sebagai manusai untuk mencari rezeki. Selain itu Hadi juga memiliki pekerjaan sampingan di rumahnya. Ia membuka reparasi elektronik khusunya radio. Keahliannya di bidang elektro ia peroleh dari kursus selama enam bulan setelah ia putus sekolah. Dulu ia juga pernah bekerja di elektronik di Deresan dan darah Gandok ikut orang asing. Tarif yang ia berikan tidak permanen, tergantung jenis kerusakan. Tahun 1981 sampai 1990 Hadi tergabung dalam yayasan Bakti Nurani, hingga akhirnya ia mendapatkan bantuan kursi roda setiap lima tahun sekali. Di usianya yang sudah lanjut, ia masih tetap melajang. Tak pernah terbesit dalam benaknya untuk membanguan sebuah bahtera rumah tangga. Ia nyaman dengan keadaanya saat ini.